Kau
tak paham aku” ujarnya.
Kalimat itu yang selalu mengganggu
waktu tidurku malam hari. Kalimat semingggu lalu, tepat terakhir kali aku
melihatnya, memandang sudut matanya yang menajam penuh kekesalan. Dia selalu
punya pertanyaan dengan jawaban yang masih menggantung. Dia lihai mempermainkan
aku dan mengoyak rasa di dadaku. Dia pandai mensabdakan kata- kata indah dengan
sejuta makna di dalamnya. Bagaimana bisa aku memahaminya, sementara dia hanya
berkutat dengan sandi –sandi, dia tak menyukai deskripsi, namun malah menyukai
kalimat teka – teki yang ambigu.
***
Sudah seminggu dia tak nampak di
hadapanku, tak ku cium sedikitpun aroma parfumnya, atau sedikit nikotin dan
secangkir kopi hitam yang selalu ia bawa, tak pula dengan sehelai buku antalogi
puisi yang selalu ia genggam. Kemanakah dia? Apakah ditelan lembaran – lembaran
puisi lama? Atau malah dipenjara teka – tekinya sendiri? Entahlah, yang pasti
hari demi hari dalam seminggu ini dia tak sedikitpun berjejak. Tak melihatkan
sekilas wajahnya, ataupun pesan yang sengaja ditinggalkan.
“krriiiing….!!”
Riza, pria yang menggantungkan
hatiku akhirnya sempat juga mengingatku, mungkin dia tahu aku akan mati tak
dijenguk kabar darinya. Sontak saja aku mengangkatnya dengan debar jantung yang
kian berlarian.
“Ada apa za? Kemana aja sih?” ujarku
dengan buru – buru.
“Aku di taman dekat kampus, di sudut
yang pernah kita duduki, dan di depan kumpulan bunga yang selalu aku sebutkan
sepertimu” ujarnya dengan suara yang berwibawa lalu spontan menutup kembali
teleponnya.
Perkataanku tentang dia tak pernah
salah bukan, ia selalu dengan segudang teka – tekinya. Lusuhnya aku dengan beribu penasaran dalam
benakku. Apa yang sebenarnya terjadi dengan pria aneh ini? Dia hilang selama
satu minggu ke belakang, lalu datang dengan kalimat yang membingungkan, tak
berperintah malah membuat sebuah pernyataan, dari palanet manakah dia? Sampai
aku terhipnotis kata demi kata yang ia sabdakan.
“Ada apa?” kataku dengan terburu –
buru setengah nafas.
“Tidak ada apa – apa” ujarnya dengan
singkat.
“Lalu menyuruhku kesini untuk?”
jawabku dengan penasaran.
Sungguh bukan, dia sangat suka
berteka –teki, aku yang sangat terburu – buru kesini. Mengharap ada sesuatu
yang penting, membuatku geram saja.
Angin seakan bernyanyi untuk kita,
tiap semilirnya membisikkan gesekan biola, petik gitar, dan tuts – tuts piano
yang membawa kita ke alam yang berbeda. Tiba – tiba riza memecah sunyi sambil
menatapku.
“Apa kamu tau kenapa aku nyuruh kamu
kesini? “
“Tidak” polosku sambil menggelengkan
kepala.
Dia memetik bunga mawar yang ada di
depanku, sambil berucap “Aku hanya ingin memastikan bungaku masih tetap pada
tangkainya”
Tuhan….. aku merasa sedang diculik
untuk terbang mengelilingi dunia, merasa awan lah hamparanku saat ini,
bagaimana tidak dia pandai sekali membuat hatiku terbang seketika.
“Akulah bunga itu?” tanyaku.
“Kau ingin menjadi bunga itu?”
Pertanyaan yang membuat aku tersipu
malu, sempat aku berbicara dalam hatiku “tentu saja riza, siapa yang tidak mau
menjadi bunga untuk kumbang sepertimu”.
“Hey… kenapa diam?” tanyanya
mengagetkanku.
“Tidak”jawabku dengan tersenyum
manis.
“Aku punya sebuah amplop untukmu,
tapi kamu harus membukanya esok pagi”
“Baiklah, mana amplopnya”
Aku senang sekali, pasti ini adalah
selembar kertas berisi ungkapan hatinya, dari kumbang yang sangat mencintai
bunganya ini, syair – syair yang ditaburi cinta dan kasmaran seorang pujangga.
***
Kau yang lebih indah dari sekedar bunga
Yang pandai merakit candu dalam dadaku
Bernikotinkah senyummu itu?
kau punya kenikmatan melebihi kopi hitamku?
Atau kau puisi yang sejak lama ingin aku baca?
Kau sang bunga
Kumbangmu dalam peraduan yang menyesatkan
Kemanakah aku berlari?
Atau arah mana yang harus kujalani?
Maaf, kau tak paham aku
Jangan tanyakan bunga itu
Atau mendesak puisi – puisku
Atau mendebat teka – tekiku
Tanyakan pada ayahmu.....
Duniaku berbalik mengerikan, rasanya
malam tadi adalah mimpi, puisi itu bukan tentang kasmaran seorang pujangga,
namun pujangga yang selama ini membuat teka – teki karena penderitaanya, ia tak
mampu mengungkapkannya langsung kepadaku, ia tak mau aku bersedih karena ayahku
tak menyukainya.
Jadwal penerbangan malam tadi ia
selipkan di puisi haru itu. Tuhan, akankah dia kembali? Kemana lagi teka –
tekinya? Kembalikah atau menerus berlari jauh? “Puisi jangan kau telan dia
dengan lembaran – lembaran harumu”.